Desa Penampungan Orang-orang Gila
TW / Sexual Abuse.
IBUK terkaget-kaget tak percaya ketika di suatu sore yang terik, ia mendapati celana dalam di jemuran belakang rumah hilang beberapa helai.
“Ulah orang gila baru” Kata ibuk sambil mengemas baju secara tergesa-gesa dan lenyap sebelum orang gila lain menghampirinya.
—
ORANG gila baru yang dimaksud oleh Ibuk adalah orang gila buangan dari kota atau kawasan lain. Iya, desa kami adalah langganan tempat pembuangan orang-orang dengan gangguan jiwa. Berada di titik ujung utara Jawa Timur, minim akses transportasi, dan daerah rawan konflik adalah kombinasi maut untuk menyempurnakan derita mereka.
Dari desas-desus yang beredar selama saya bermukim di desa, setidaknya setiap satu bulan sekali selalu ada ODGJ baru yang ditelantarkan. Modusnya begini; di jam-jam tengah malam antara pukul satu sampai dua dini akan ada mobil minibus yang menurunkan mereka di jalanan dengan kondisi seadanya, badan lusuh, bahkan tak jarang tanpa pakaian. Sesekali mobil berplat merah juga melakukan hal serupa. Asal buang sekenanya. Seluruh warga desa diliputi pertanyaan, namun banyak juga yang acuh tak acuh seolah ini adalah takdir yang harus mereka terima sebagai warga desa di kawasan terpencil.
Sebentar saja, orang gila menyebar ke dusun-dusun. Trotoar jalan utama desa disesaki pakaian compang-camping seperti sedang ada eksodus manusia besar-besaran. Kemudian warga dikejutkan dengan tingkah polah anehnya sebab banyak dari mereka dibuang karena mempunyai kebiasaan luar biasa ganjil dan cenderung merugikan orang lain. Pemerintah melulu absen, pamong desa tak menghiraukan, dan warga kebingungan harus mengadu kepada siapa sebab konflik horizontal terlanjur terjadi.
Penjual baju dan buah-buahan di pinggir jalan hampir putus asa mengusir orang gila yang nangkring di depan toko. Keberadaan mereka merusak rezeki dan membuat pembeli enggan mampir. Pemandangan itu menyusutkan gairah desa. Mengancam perekonomian desa jika terus-terusan seperti ini. Ratusan kilometer jauhnya, kota yang permai menampakkan sisi kejamnya dengan membuang orang sesukanya ke desa-desa.
Membiarkan orang gila terkatung-katung di desa adalah tindakan keji, para penduduk sehari-hari sudah kerepotan dengan hidup yang dijalani karena minim akses fasilitas negara seperti di kota-kota. Sudah begitu, puskesmas di desa tidak menyediakan layanan kesehatan jiwa. Terbatasnya pengetahuan kesehatan rohani membuat warga desa hanya bisa mengeluhkan orang-orang ini sambil sesekali mengutuk perbuatannya.
Sebab dulu, ketika tingkah orang-orang gila buangan ini sudah melebihi batas, warga akan mengikat atau memasung mereka. Kaki dan tangan diikat ke pohon, orang-orang secara sukarela memberi makan, tidak ada yang etis namun ini hal praktis yang bisa dilakukan warga mengingat negara sering kali membolos untuk urusan seperti ini dan hanya bisa merampas kedamaian hidup warga.
Desa-desa di seluruh kecamatan kami dibikin repot dengan kehadiran mereka yang berduyun-duyun, terlalu banyak, dan tanpa nama. Para orang gila ini kini menyandang nama-nama baru, sebutan dari warga sesuai kelakuan ajaib apa yang dilakukannya. Macam; orang gila nyolong sempak, orang gila ngocok, Jono parang, mbah jarik dan sebagainya. Dengan memiliki identitas baru, cerita hidup mereka bak dikubur selama sekian dasawarsa, sampai keluarga mereka sendiri tak tahu apakah mereka ini masih manusia atau sudah jadi mitos belaka.
Hari-hari kami diliputi kemalangan, kewaspadaan setiap saat mesti dipasang matang-matang. Kami hidup berdampingan dengan banyak orang gila seperti segala kesialan yang sudah dituliskan negara. Anak-anak sekolah mengeluh ketakutan dikejar orang gila sehingga ruang bermain aman mereka terbatasi. Toko-toko kelontong ketakutan mengusir orang gila yang nangkring—bahkan ada yang melakukan aktivitas seksual—di beranda. Percayalah, niat kami tak jahat namun di suatu masa, hal ini seperti mewabah ke seluruh desa.
Tak jarang, ada orang biadab memanfaatkan kesempatan. Saya pernah mendengar pembicaraan warung mengenai apa yang dilakukan orang gila ini ketika malam hari. Ada yang tertidur, mencari makan di sampah-sampah, ada yang memadu kasih satu sama lain. Malangnya, ada beberapa di antara mereka yang mesti menelan pil pahit. Ada orang gila diperkosa, ada orang yang lebih sinting memanfaatkan kesempatan dengan melontarkan nafsu bejatnya. Saya tak sampai hati membayangkan kecamuk macam apa yang akan ditelan korban, di tengah ketidakberdayaan dan pembiaran oleh negara, ia masih harus menerima perlakuan macam iblis.
—
MICHAEL Foucault dalam karyanya “Sejarah Gila: Sebuah Kajian tentang Kepriaan di Abad Pertengahan Awal” pernah menuliskan jika di Eropa masa renaissance kita akan sering menjumpai kapal-kapal yang membawa orang gila, biasa disebut stultifera navis atau narrenschiff. Pada abad ke-15, kapal-kapal ini melewati sungai dan terusan-terusan dari Rheinland (Jerman) dan Flandria (Belgia). Mereka diusir dari kota dan agar mereka tidak kembali digunakanlah kapal-kapal tadi sebagai sarana pengangkut. Dengan dilayarkan, orang-orang gila dipindahkan menuju ke suatu dunia yang lain dan ketika turun dari kapal ia dianggap datang dari dunia lain. Diliyankan.
Sejarah kita hanya berkutat soal pengulangan-pengulangan semata, seperti sudah kita ketahui bersama. Apa yang terjadi di masa pencerahan dengan kota-kota termasyhur pun meninggalkan luka lebam besar. Masyarakat yang dianggap bertentangan dengan rasio kewarasan harus menerima nasib didepak dari struktur kota, syahdan termarjinalkan untuk alasan keanggunan sebuah zaman.
Di beberapa daerah nun jauh sana, pembuangan orang gila dari kota ke desa juga marak terjadi. Sukabumi contohnya, menjadi tempat favorit untuk kegiatan macam ini. Modusnya sama persis namun dengan jumlah yang lebih besar. Data terakhir, ada sekitar 300 orang gila yang dibuang ke daerah tersebut dengan alasan Sukabumi punya luas daerah yang besar.
Masyarakat kota dengan seluruh fasilitas penunjang yang mumpuni mustinya mafhum akan persoalan ini. Kawasan kota memang didesain agar menciptakan lanskap pandangan menyamankan mata dan menyemai kalpataru sebagai hasil pencapaian. Kendati begitu, haruskah ia berlaku sembarangan terhadap yang gila? Sebab ketika RSJ bertambah riuh dan keluarga mereka berhenti peduli, hanya tempat itu yang jadi harapan untuk menghidupi mereka. Memanusiakan mereka.
Tidak ada adegan orang gila yang terbahak-bahak dikejar petugas Dinas Sosial seperti di kota sebab sering kali mereka yang gila-lah yang mengejar warga, membawa parang, pisau, atau sekadar meminta-minta sesuap nasi.
—
SORE itu, seperti seluruh warga desa, Ibuk mengunci rapat-rapat pintu rumah, jendela-jendela ditutup, gerbang digembok, dan jemuran basah terpaksa dibawa masuk. Kami berjaga-jaga karena mendapat warta dari pamong desa, ada orang gila membawa celurit sedang berkeliaran di desa. Mencari-cari orang yang menghinanya siang tadi.