Apa yang Tersisa dari Cinta yang Habis di Orang Lama
SAYA selalu percaya bahwa seseorang bisa jatuh cinta pada pandangan pertama. Seluruh hal pada akhirnya hanyalah tentang saling mempengaruhi selera antara kalian berdua—makanan, tempat melamun, musik, posisi seks, aroma parfum—tapi tak ada yang dapat menggantikan rasa kejut listrik yang muncul pada perjumpaan pertama. Tatkala momen itu terjadi, kupu-kupu akan hinggap di perut dan hidup setelahnya akan berubah, sebelum dan sesudah perjumpaan dua insan.
Sekitar enam tahun lalu saya bertemu dengan L, from the moment i shake her hand tiba-tiba semesta melamban, sinar bulan memancar pelan menyinari wajahnya, bintang-bintang berpindah lalu berpusing di sekitar tubuhnya. Apa yang terjadi tentu tak sedramatis itu. Pertemuan saya dengan L dijembatani oleh seorang kawan, di sebuah malam di kafe dekat kampus. Saat itu mereka sedang digegerkan oleh beban menyelesaikan skripsi, namun yang saya pedulikan malam itu hanyalah sengatan listrik perjumpaan perdana dengan L dan sekonyong-konyong memproklamirkan ingin bersama dengannya sampai ajal menjemput.
Yang terjadi tiga tahun berikutnya adalah nestapa. Hubungan kami menjadi rumit seperti kabel listrik di negara dunia ketiga. Di awal, kami sama-sama mabuk asmara, bunga-bunga merekah di sekitar, setiap hari adalah musim semi yang hangat, dan kami jadi saling ketergantungan. Lalu, beberapa bulan kemudian ia akan menghilang sebab kami tak pernah serius untuk menyatakan cinta dan mengikat hubungan. Siklus tersebut berulang hingga beberapa tahun lamanya.
—
SEORANG teman kerap menasehati saya untuk menebalkan tembok dan memberi jarak saat L kembali datang. Seorang teman lain sampai mengenalkan perempuan kepada saya, namun tak ada hasrat, yang saya butuhkan hanya kehadiran L. Benar saja, beberapa bulan setelahnya L berlabuh lagi. Sekalipun L menghilang untuk 9.895.645 kali, saya akan tetap menerimanya dengan tangan lebar, merengkuhnya dari segala yang pelik dan menyembunyikan wajah kisut.
Saya ditindas oleh perasaan ingin membantu. Namun, saya tidak tahu bagaimana cara membantu secara proporsional dan saya tidak tahu kapan harus berhenti.
Perempuan ini, L, mengalami hubungan putus nyambung bersama pacarnya dan ketika L sedang merenggang dengan sang pacar maka ia putuskan untuk mendatangiku. Saya tak pernah tahu dan tak pernah berusaha ingin mengenali apakah ini benar rasa cinta atau upaya saya untuk sekadar sok menjadi pahlawan kesiangan. Sebab saat L datang, hari terasa begitu gemilang, dan saya siap untuk menghamilinya di luar nikah jika diminta demi kelancaran hubungan ke jenjang berikutnya. Tapi tentu itu tak pernah terjadi.
Kepedulian saya serasa dibabat habis oleh L dan saya tak bisa menyalahkannya karena di dalam jurang hati, saya sendiri berharap L menjatuhkan pelabuhan rasa kepada saya. Cinta saya dikuras habis, gelas-gelas kasih sayang yang dulunya terisi penuh dan siap untuk disediakan kepada orang lain kini tandas ia teguk. Saya merasa tak punya apa-apa lagi selain penyesalan di kemudian hari. Sembari melulu berharap esok ia kembali lalu menjalani hidup sekenanya. Tanpa punya perasaan.
Pada satu pagi, ketika menyadari bahwa segala yang tersisa di dunia pasti bakal makin memburuk, terutama demi terus-terusan mengharap kehadiran L, saya mengambil telepon genggam dan melihat foto-foto lama di galeri, mengamati betapa hidup sungguh kelewat mudah sebelum kehadiran L, sekaligus mengukur kekebalan saya terhadap rasa kehilangan. Jantung saya berdegup cepat, dan yang tersisa dari awan-awan di langit pada Minggu pagi cuma kesuraman: sebuah suara —yang entah asalnya dari mana —berbisik kalau saya sungguh tak akan kuat menjalani hubungan ini.
Setali tiga uang, ketika saya telah selesai membantu L mengerjakan skripsi, saya memberanikan diri ingin mengikatnya dalam sebuah hubungan, pacaran. Sejurus kemudian, ia marah besar, selama ini L hanya menganggap hubungan kami sebatas teman dengan sedikit bumbu-bumbu. Tentu penjelasannya rumit belaka dan saya masih tak bisa marah. Di titik itu entah kenapa ia memutus seluruh jalur komunikasi kami. Keesokannya saya tak kuat menjalani hari dan hanya sanggup berbaring di kasur kamar. Berteman gelap.
—
ESTER Pandiangan, seorang penulis isu-isu seksualitas pernah berkata dalam esai panjangnya tentang cinta dan pengorbanan bahwa “Cinta tidak seharusnya menyakiti. Cinta memang butuh pengorbanan, tapi bukan pengorbanan yang membiarkan diri menjadi samsak tinju, pengekangan, membuat rendah diri, dan perilaku-perilaku menjatuhkan harga diri lainnya.” Hubungan saya dengan L adalah sebuah perilaku menjatuhkan harga diri demi untuk terus merasa dicintai, merasa eksistensinya diakui. Dan itulah sejatinya kelemahan manusia, sebuah ego untuk merasa kehadirannya mampu memberi arti lebih bagi orang lain.
Selama bertahun-tahun, saya menyediakan rumah untuk L. Tempat nyaman dari jeratan hubungannya yang perih bersama kekasihnya. Setelah ia beres menata napas dan hati, saya mempersilahkan L untuk beranjak lagi. Sembari menyadari di kemudian hari bahwa saya adalah Hotel singgah alih-alih rumah bagi L, kendati begitu L akan selalu membutuhkan saya dan saya akan selalu membukakan pintu untuknya.
Cinta, bagi saya, adalah pengharapan semacam ini. Kesetiaan yang bertahan sekalipun tidak berbalas. Tanggung jawab yang tak pernah susut sekalipun tak pernah dihargai.
Setelah perasaan cinta kasih saya dikoyak menahun. Saya menyadari bahwa saya tidak mencintai L sebagai manusia yang utuh, melainkan sebagai manusia yang butuh pertolongan, saya adalah dokter baginya. Saya menyangka bila saya dapat menyelamatkannya, maka saya dapat membawanya melayari lautan baru. Perlu waktu sebelum saya sadar bahwa ini skenario mustahil. Sebuah hubungan tidak bisa dibangun berdasarkan rasa kasihan.
Dengan mengakui kesalahan, saya kemudian belajar bahwa cinta tak semestinya membutuhkan usaha sebegitu hebat. Justru segalanya musti mudah dan tak perlu rumit. Saban hari, kita, manusia, ditugaskan untuk menyemai cinta dan memupuk perhatian kepada yang lian. Sebab hanya itu bensin yang kita punya untuk bisa terus berkendara di jalan hidup yang tak tentu arahnya. Salah jalan tak apa, kita cari lagi putar balik, dan menghindar dari arus lawan arah.
—
TAHUN-tahun berikutnya setelah lepas dari L, saya jadi punya gelas kasih yang melimpah. Saya selalu menyajikannya saban hari, membawanya kemanapun bersama nampan-nampan kepedulian dan rasa haru. Setiap suka dengan orang baru rasanya seperti jatuh cinta untuk pertama kali lagi. Seluruh hal pada akhirnya hanyalah tentang saling mempengaruhi selera antara kalian berdua—makanan, posisi seks, tempat melamun, selera musik, aroma parfum—tapi tak ada yang dapat menggantikan rasa kejut listrik yang muncul pada perjumpaan pertama. Tatkala momen itu terjadi, kupu-kupu akan hinggap di perut dan hidup setelahnya akan berubah, sebelum dan sesudah perjumpaan dua insan.
Cinta saya ternyata tak habis di L seorang. Yang tersisa ketika menilik itu semua hanya respon bergidik ngeri setiap kali mendengar cerita teman-teman tentang bagaimana saya dulu bisa terjebak di lintasan penuh kelok dan jalan buntu seperti itu.
Sejak mulai melupakan ingatan buruk bersama L, hampir saban malam saya tidur dengan perasaan lega. Kadang saya menghibur diri sendiri dengan memutuskan bahwa mungkin saya tidak pernah bisa sepenuhnya melupakannya. Saya hanya menganggap kehadiran kecil L dalam hidup saya selumrah pelajaran dalam melayari hidup. Saya tidak pernah memanggilnya lagi, karena saya tidak perlu memanggil sesuatu yang memberikan trauma mendalam.
"Aku tak berpikir semua penulis bersedih," kata penyair kontemporer terlaris Selandia Baru, Lang Leav, dalam novelnya, "Sad Girls", "sebaliknya: semua yang bersedih pasti menulis." dan dengan begitu lah saya mengobati diri, seraya meluapkan apa-apa yang mampet dalam pikiran, menuangkannya ke dalam larik-larik kalimat. Menumbuhkan rasa welas asih dan menjadikan diri dengan apa yang disebut Bell Hooks sebagai “community of care”.